Kepala Kejaksaan Negeri Palopo, Ikeu Bachtiar, membantah tudingan adanya penganiayaan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum Kejari terhadap Ketua HIPMI Palopo, Imbara.
Dalam keterangannya, Ikeu menegaskan bahwa seluruh proses penanganan perkara dilakukan sesuai prosedur hukum, khususnya melalui mekanisme restorative justice (RJ) yang telah disepakati para pihak.
“Semua prosedur dijalankan sesuai dengan aturan. Tidak ada penganiayaan, pemerasan, atau tindakan di luar hukum,” tegas Ikeu.
Ikeu Bachtiar menjelaskan latar belakang kasus tersebut, bermula dari Akta Jual Beli (AJB) No. 687 Tahun 2000 antara almarhum Mala dan Hj. Maenong atas sebidang tanah seluas 34.290 m² (3,4 hektare) dari Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 27/1979 dengan total luas 61.542 m² (6,1 hektare). Setelah AJB terbit, Mala meninggal dunia dan kepemilikan tanah dikuasai oleh istri serta ahli warisnya.
Pihak pembeli (alm. Hj. Maenong) melalui ahli warisnya, yakni H. Bahra dan H. Ariswandi Bara, ingin memecah sertifikat tersebut. Namun, permintaan itu ditolak oleh pihak penjual. Perselisihan berlanjut ke ranah hukum perdata dan pidana.
Dalam proses perdata, Pengadilan Negeri hingga tingkat banding memutuskan bahwa AJB tersebut sah dan memerintahkan agar sertifikat induk dipecah. Namun, pihak tergugat tidak melaksanakan putusan tersebut, sehingga muncul laporan dugaan penggelapan ke Polres Palopo dengan pasal yang disangkakan Pasal 372 dan 227 KUHP.
Setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21), tersangka dan barang bukti dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Palopo.
Kajari menjelaskan bahwa perkara tersebut sempat diproses melalui pendekatan restorative justice, karena memenuhi syarat: ancaman pidana di bawah lima tahun, tersangka bukan residivis, dan adanya kesepakatan damai antara para pihak.
“Kami hanya memfasilitasi. Kedua belah pihak—korban dan tersangka—kami pertemukan dan mereka sepakat berdamai. Itu dibuktikan dengan dokumen yang ditandatangani bersama,” jelas Ikeu Bachtiar.
Setelah kesepakatan tercapai, Kejari Palopo menerbitkan surat penghentian penuntutan berdasarkan prinsip RJ.