Kualifikasi pendidikan bagi calon kepala daerah (kada) dan calon anggota legislatif sejatinya menjadi perhatian serius dalam proses revisi Undang-undang Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah. Standar pendidikan harus dirancang sesuai dengan level jabatan. Bupati, wali kota, dan anggota legislatif di daerah diusul punya ijazah minimal sarjana (S1). Plus, mereka harus lulusan dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
Usulan tersebut mengemuka dalam Workshop Publik Nasional Menuju Pemilu yang Adil dan Representatif: Masukan Publik Untuk Revisi Regulasi Kepemiluan di Indonesia yang digelar oleh Departemen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin di Hotel Unhas, Selasa (29/7/2025).
Guru besar ilmu politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas, Profesor Armin Arsyad menyatakan perlunya peningkatan kualitas calon pemimpin dan calon wakil rakyat dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada. Itu sebabnya, kata dia, salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah adanya standar pendidikan minimal bagi semua kandidat yang ikut berkompetisi di semua jenjang kontestasi.
“Misalnya presiden dan DPR RI minimal berpendidikan S3. Gubernur dan DPRD Provinsi minimal S2, dan bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota minimal S1. Seluruhnya harus lulusan dari perguruan tinggi terakreditasi,” ujar Armin.
Bukan itu saja, dalam diskusi juga diusulkan agar calon wajib bersih dari kasus korupsi sebagai bentuk komitmen pada integritas publik, perlu ditambahkan syarat alternatif berbasis pengalaman jabatan publik, seperti pernah menjabat sebagai gubernur atau jabatan setara untuk presiden.
Sementara kualifikasi calon legislatif wajib meliputi integritas, pengalaman organisasi atau latar pendidikan politik atau publik, ditekankan pemahaman terhadap ilmu sosial, politik,hukum sebagai syarat dasar. Calon dari latar non-sosial diwajibkan mengikuti kursus khusus terkait legislatif sebagai bentuk pelatihan orientasi politik dasar tentang etika politik, konstitusi dan fungsi legislatif, sertifikat kelulusan dari pelatihan ini menjadi syarat administratif pencalonan dan pelatihan dapat diselenggarakan oleh KPU, lembaga independen, atau universitas.
“Begitupun dengan reformasi praktik politik dalam partai diusulkan agar partai politik dilarang melakukan praktik jual-beli pencalonan (pintu-masuk), perlu audit publik tahunan dan forum pertanggungjawaban kepada masyarakat sipil di luar pengawasan DPR,” tutur Armin.
Termasuk, kata dia, pengaturan kampanye, diusulkan kampanye dalam regulasi masih multitafsir, sehingga membuka banyak celah pelanggaran yang tidak bisa ditindak tegas, program strategis nasional atau proyek khusus yang bukan bagian dari anggaran tahunan wajib ditunda pelaksanaannya dalam tahapan kampanye, penggunaan anggaran publik, fasilitas negara, serta simbol-simbol kekuasaan untuk kepentingan elektoral harus dilarang secara eksplisit dalam UU untuk mencegah multitafsir dari definisi kampanye yang diberikan UU.
Sementara itu, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Makassar, Endang Sari menyatakan calon wajib bersih dari kasus korupsi sebagai bentuk komitmen terhadap integritas publik. Alternatif syarat berdasarkan pengalaman jabatan publik juga diusulkan, terutama bagi calon presiden yang pernah menjabat sebagai gubernur atau posisi setara.
Menurut dia, khusus untuk calon anggota legislatif, mereka harus memiliki integritas, pengalaman organisasi, dan/atau latar belakang pendidikan politik atau publik.
“Penekanan juga diberikan pada pemahaman dasar terhadap ilmu sosial, politik, dan hukum,” imbuh Endang.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya yang hadir sebagai pembicara menyampaikan dukungannya terhadap proses revisi Undang-Undang Pemilu yang berlangsung secara terbuka, inklusif, dan menyerap masukan semua kalangan.
“Perlu perspektif yang kaya, karena jangan sampai salah ambil keputusan di fase yang sangat krusial bangsa ini. Kita ingin tentunya menunjukkan usia emas, demokrasi bisa bersanding dengan kesejahteraan,” ujar Bima Arya.
Dia mengapresiasi acara yang digelar di Unhas karena merupakan kolaborasi ataupun ruang diskusi dengan berbagai pihak dalam situasi seperti sekarang ini disebut sangat penting agar bisa menemukan satu formasi yang betul-betul tepat untuk Kepemiluan Indonesia ke depannya.
Bima Arya menjelaskan, bahwa pengambilan keputusan terkait masa depan regulasi kepemiluan di Indonesia harus hati-hati. Dia mencontohkan, sebelumnya telah disepakati untuk dilakukan pemilihan secara serentak, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Namun belakangan proses itu kembali dipisahkan, seiring dengan putusan MK.
“Dulu saya tidak sepakat serentak. Sekarang diusulkan untuk kembali lagi tidak serentak. Jadi poin saya adalah kita harus hati-hati, apakah terus serentak atau memisah, itu semua harus dihitung. Jangan sampai semuanya tergesa-gesa mengambil keputusan, harus dihitung betul, jangan sampai berubah lagi dan berubah lagi,” tutur dia.
“Kita mau ke manakan arus sistem (kepemiluan) ini, itu poinnya. Sistemnya harus ajak, tidak masalah juga kita sepakatnya ada perubahan, tapi jangan sampai nanti empat tahun lagi berubah lagi. Apalagi nanti ada keputusan MK berubah lagi, kita perlu sistem yang ajak dan berkelanjutan dan melembaga,” imbuh mantan Wali Kota Bogor itu.
Saat ditanyakan terkait Pilkada yang dikembalikan kepada DPRD, Bima Arya bilang masalah ini juga masih dalam tahapan kajian. Untuk itu, kembali disampaikan bahwa ruang diskusi mengenai masalah ini harus diperbanyak agar bisa menemukan satu sistem yang betul-betul matang.
“Semua masih dalam kajian. Sekali lagi tidak ada sistem yang sempurna, semua bisa kita pilih, tetapi semua harus dihitung dampaknya bagi bangsa ini, baik dampak ekonomi, dampak politik, maupun tentu satu hal yang sangat penting adalah bangsa ini tidak boleh pecah karena pemilu, karena politik,” ujar dia.
Begitu juga saat ditanyakan terkait Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) nantinya akan memiliki pelaksanaan tugas kepala daerah dengan jumlah banyak, Bima Arya mengungkapkan bahwa kepastian hukumnya masih berproses dan apapun hasilnya nanti harus dijalankan.
“Apapun kesepakatan dari DPR, itu harus kita pastikan ada payung hukumnya, ada landasan hukumnya. Kalau tidak ada tentu ada terobosan, karena ada ruang untuk proses transisi itu, selalu seperti itu. Nah tapi semuanya akan kita kaji, mereka seperti apa. Belum ada kesepakatan, belum ada hal yang mencuat, ya semua dalam fase dipelajari. Tapi harus kita pastikan ada payung hukumnya dan tidak kemudian menimbulkan kekosongan pemerintahan,” kata Bima Arya.
Sementara itu, anggota DPR RI, Taufan Pawe tutur menyikapi masalah kepemiluan di Indonesia, terutama pada pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait desain pelaksanaan pemilihan yang kembali dipisahkan antara pemilihan nasional dan daerah atau lokal. Menurut dia, penting ada penyusunan regulasi turunan mengenai desain pemilihan tersebut.
Untuk itu, kata Taufan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif harus betul-betul melahirkan satu formula atau revisi terkait regulasi demi kesiapan Pemilu 2029 mendatang.
“Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana melahirkan atau merevisi regulasi-regulasi untuk penyelenggaraan Pemilu 2029. Di situlah intinya,” kata Taufan.
Mantan Wali Kota Parepare itu mengungkapkan, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menghadirkan dinamika baru dalam sistem pemilihan di Indonesia, utamanya wacana pemisahan pemilu nasional dan lokal. Sehingga adanya regulasi yang baru tersebut akan menimbulkan masa transisi selama 2 tahun hingga 2,5 tahun.
“Putusan MK itu juga melahirkan hal yang mengejutkan, yaitu munculnya pemilu nasional dan pemilu lokal yang terpisah. Dan lebih seriusnya lagi yaitu ada masa transisi 2 tahun sampai 2,5 tahun,” ujar dia.
Untuk itu, masa depan regulasi pemilihan di Indonesia disebut harus dipikirkan. Opini yang berkembang terkait sebaiknya pemilihan legislatif di masa transisi itu dilakukan pemilihan sela, menurut Taufan Pawe, itu sama saja pemborosan anggaran.
Sehingga, kata Taufan, sebaiknya pemilihan kekosongan kursi legislatif itu dikembalikan kepada partai politik yang memiliki kursi di legislatif, apakah akan meneruskan perpanjangan masa jabatan calonnya yang sebelumnya telah duduk atau ada evaluasi lainnya.
“Kalau opini yang berkembang seperti pendapat Profesor Mahfud MD bahwa dilaksanakan pemilu sela, saya anggap itu pemborosan. Jadi mungkin dikembalikan kepada parti politik yang punya kursi untuk menyikapi hal itu, apakah meneruskan atau ada evaluasi tersendiri. Tapi ini pendapat pribadi saya, bukan pendapat partai,” imbuh anggota Komisi II DPR RI itu.
Ketua Golkar Sulsel itu juga menyikapi terkait masalah penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu yang dinilai memiliki banyak keterbatasan dalam menjalankan tugasnya. Menurutnya, KPU dan Bawaslu ke depan sebaiknya diberikan kewenangan lebih luas, tidak hanya mencari kebenaran formal saja, tetapi juga kebenaran material dalam verifikasi calon.
“KPU jangan hanya fokus pada kebenaran formal seperti ijazah atau dokumen. Kalau sudah yakin dengan data pendukung bahwa seseorang tidak memenuhi syarat, maka harus berani mengambil keputusan tegas. Itu bentuk penguatan penyelenggara pemilu,” ujar Taufan.
Terpisah, Profesor Sukri Tamma yang ikut hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini mengungkapkan agar para pihak yang terlibat dalam Revisi UU Pemilu agar mengungkapkan pada publik akan seperti apa dan akan kemana arah revisi aturan yang dibuat ini.
“Mereka yang akan terlibat dalam revisi undang-undang ini tolong nanti ujungnya diberitahukan ke kita, mau dibentuk apa, apa bentuk sistemnya, sehingga masing-masing dari kita mengambil bagian dalam sistem ini. Penyelenggara akan di mana, legislatif akan di mana, eksekutif di mana dan kami akademisi di mana? sehingga proses ini tidak dejavu, setiap 5 tahun kita terus ulang prosesnya,” tutur Sukri.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas itu juga mengungkapkan jika ruang politik Indonesia saat ini masih cenderung dilihat sebagai ajang perebutan kekuasaan antar kelompok. Maka tak jarang, ruang ini juga dimanfaatkan demi kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan publik secara luas.
Dengan begitu, ia menekankan pentingnya penguatan sistem demokrasi secara menyeluruh, termasuk melalui pendidikan politik, reformasi partai, dan penguatan ekonomi rakyat agar demokrasi benar-benar bisa berjalan sesuai dengan prinsip dasarnya.
“Ruang politik masih sering dipersepsikan sebagai panggung kekuasaan, bukan sebagai arena pelayanan publik. Ini yang perlu diubah dalam cara pandang kita,” kata Sukri.